Melihat sang ibu dipukuli oleh ayahnya yang sedang mabuk sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi Mardi kecil. Ketika ia tak tahan lagi melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya, Mardi yang masih berusia enam tahunan itu berusaha menahan ayahnya. Namun tanpa rasa kasihan sang ayah bahkan memukulinya juga. Pukulan-pukulan sang ayah yang mendarat ditubuhnya dan juga ditubuh ibu yang ia kasihi begitu membekas dihatinya, yang membuatnya membenci sang ayah.
Dengan bertambahnya hari, rasa sakit hati pada sang ayah bukannya makin terobati malah menjadi semakin besar. Pasalnya, suatu hari Mardi kecil dipaksa untuk berhenti sekolah pada hal ia ingin duduk di bangku pendidikan seperti teman-temannya yang lain. Rasa marah dan kecewa dalam hatinya membuat Mardi akhirnya bergaul dengan anak-anak nakal.
“Saya terikut dengan kawan-kawan. Saya mencuri ayam, telor dan apa aja yang ada. Kalau orangtua saya pergi kesawah, saya curi, padi, kelapa, pokoknya apa yang ada lah…” demikian Mardi menuturkan riwayat masa kecilnya. “Dan berapapun yang saya dapat dari mencuri itu, saya habiskan untuk main judi.
Mardi tidak berhenti dengan mencuri isi rumahnya dan tetangganya saja, bahkan dengan usia sekecil itu dia sudah berani mencuri dari sebuah warung. Keberhasilannya dalam melakukan beberapa kali pencurian semakin membuat Mardi besar kepala, hingga dia melakukan sebuah tindakan yang terbilang nekat. Waktu itu rumah-rumah masih terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Mardi menggali tanah disamping rumah tetangganya untuk membuat jalan masuk menerobos rumah tersebut dan melakukan pencurian. Namun sepertinya keberuntungan Mardi sudah habis, saat sedang berusaha membawa kabur barang curian, dirinya tertangkap. Akibatnya, karena perbuatannya itu Mardi harus merasakan dikurung di balik jeruji penjara.
Namun pengalaman pahitnya berada di penjara tidak membuat Mardi jera juga. Ketika ia bebas, Mardi kembali mencuri dan mabuk-mabukan.
“Dulu ada rasa ketakutan itu, ‘bagaimana ya kalau kita ketahuan nanti?’ Tapi kami sudah pasrah, kalau harus mati.. ya matilah..”
Karena tidak seorang pun yang bisa membuat Mardi berhenti dari kehidupannya yang buruk, akhirnya hingga dewasa ia terus terlibat dalam berbagai tindakan kriminal. Bahkan wanita yang dicintainya Ristiani Situmorang dan ia nikahi tidak dapat mengubah kehidupan Mardi.
“Ketika saya sudah menikah, saya masih pacaran dengan seorang janda. Saya sering pulang malam dalam keadaan mabuk, bahkan sering memukuli istri.”
Sepertinya kebiasaan sang ayah yang dibencinya melekat dalam hidup Mardi. Apa yang pernah ayahnya lakukan pada ibunya dan dirinya, kini dilakukannya kepada sang istri dan anak. Bahkan demi hobi judi dan minuman kerasnya, ia rela membuat istri dan anaknya kelaparan.
“Saya suruh dia utang, ‘Kalau kamu ngga mau, aku tendang!’” demikian Mardi menceritakan kekejamannya.
Bosan dengan keadaan di kampung, Mardi pun memutuskan untuk merantau ke ibukota tanpa memikirkan keadaan anak istrinya. Namun karena ingin tetap mempertahankan rumah tangganya, sang istripun menyusul Mardi ke Jakarta. Tetapi ibukota ternyata tidak membuat Mardi semakin baik, bahkan ia semakin terjerumus dalam ilmu kebatinan.
“Di Jakarta ini kan lebih berharga ayam daripada manusia. Jadi saya minta ilmu kekebalan. Ternyata setelah memakai itu, memang nyata. Saya memakai itu supaya saya lebih disegani oleh orang. Tapi itu nyata, ada yang mau ribut lalu saya pecahkan gelas lalu saya makan kaca itu. Lalu mereka itu takut.”
Namun tanpa disadarinya, ilmu itu membuatnya semakin kejam. Dirumahnya, istri dan anaknya menjadi korban keberingasan.
“Kalau saya pukul istri itu, macam orang kesetanan saya..”
Akibatnya, kepala sang istri beberapa kali bocor karena pukulan dan dihantamkan ke tembok. Tak kuat dengan perlakuan Mardi, sang istri sering menangis dan merasakan penyesalan yang sangat dalam karena dulu pernah diperingatkan oleh ibunya untuk tidak menikahi Mardi namun tidak dihiraukannya.
Bahkan sang anak tak luput dari kekejaman Mardi, dia bahkan pernah memaksa anaknya yang masih kecil untuk memakan pecahan gelas.
“Saat itu saya teringat saat dikejar oleh bapak saya sampai ke sawah-sawah. Dendam kepada ayah, saya lampiaskan kepada anak saya. Jadi badan saya ini panas, tidak bisa ketemu anak saya. Bahkan saya pernah buat tangan anak saya patah.”
Perlakuan buruk sang suami, akhirnya membuat Ristiani tidak tahan lagi. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi bersama anaknya. Namun ditengah jalan Ristiani teringat kembali akan suaminya, dan membuatnya kembali kerumah.
“Saya sudah naik mobil, tapi pulang lagi kerumah. Karena hati saya gelisah, akhirnya saya pulang kembali menjumpai dia. Karena anak juga, supaya rumah tangga agar kelihatan bagus,” demikian ungkap Ristiani tentang penderitaannya saat itu.
Ditengah keputusasaannya, Ristiani tidak pernah melepaskan kepercayaannya kepada Tuhan. Sekalipun ada tetangga yang menyarankan agar dia ke dukun untuk mengubah suaminya, namun Ristiani tidak mau.
“Saya tidak mau ke dukun, saya hanya berharap kepada Tuhan. Kalau dia pulang dalam keadaan mabok, saya berdoa, saya menangis kepada Tuhan. ‘Tuhan, kalau saya ke dukun dengan orang, suami saya tambah gila nanti. Tambah stres. Saya percaya Tuhan sanggup memulihkan rumah tangga kami. Saya mencintai suami saya, karena kami sudah dipersatukan oleh Tuhan.”
Doa Ristiani ternyata tidak sia-sia, suatu saat Mardi bersedia diajak ke Puncak, Bogor untuk mengikuti sebuah pertemuan.
“Pergi ke Puncak beberapa hari, enak juga ya tidur-tiduran disana. Saya pikir begitu. Ternyata disana ada ibadah. Saya duduk dibelakang. Saya mendengar suara, ‘Bertobatlah..bertobatlah sebab kerajaan Allah sudah dekat.’”
Namun Mardi masih mengeraskan hati, bahkan ia meninggalkan ibadah itu untuk merokok. Ketika ia selesai, ia kembali duduk dan mendengar suara yang sama tiga kali, “Bertobatlah, sebab kerajaan Allah sudah dekat.” Akhirnya Mardi maju dan minta di doakan.
“Saya menangis, saya merasa lemas waktu di doakan,” demikian Mardi menceritakan pengalamannya bersama Tuhan.
Saat itu juga, Mardi membuat keputusan yang penting, yaitu melepaskan ilmu-ilmu kebatinan yang dimilikinya, “’Kalau Engkau memang nyata Tuhan, cabutlah dari badanku ini semua yang kupegang.’ Memang benar, begitu saya di doain ada yang keluar, muntah.”
Begitu merasakan jamahan Tuhan, Mardipun langsung mengakui semua dosa-dosanya dan memohon pengampunan dari Tuhan.
“Ampuni semua dosa-dosaku Tuhan. Aku menyesal Tuhan, ampuni semua pelanggaranku. Aku pernah melawan orang tua, aku memukuli anak-anak dan istriku. Kau yang berkuasa atas hidupku Tuhan.”
Sepulang dari Puncak, Mardi mendatangi istri dan anaknya dan meminta ampun atas apa yang pernah ia lakukan pada istri dan anaknya. Kini, Mardi yang kejam dan suka mabuk-mabukan itu tinggal sejarah. Mardi telah menjadi manusia yang baru, menjadi pribadi yang takut akan Tuhan dan mengasihi anak-anaknya.
“Buat saya, Yesus itu sangat luar biasa. Kuasanya begitu besar, sangat dasyat,” ungkap Mardi. (Kisah ini ditayangkan 2 September 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber kesaksian:
Mardi Nainggolan
Sumber : V100830155224